A A L
Posted on and filed under Berita Utama . You can follow any responses to this entry through theRSS 2.0 . You can leave a response or trackback to this entry from your site
Orang yang pernah mengalami era Bung Karno (sampai 1965) pasti teringat pada Akademi Angkatan Laut kalau mendengar “AAL”.
Tapi hari ini orang akan mengasosiasi kan AAL dengan nama seorang pelajar SMK di Palu, Sulawesi Tengah,berumur 15 tahun yang entah sengaja atau tidak mengambil atau mencuri sepasang sandal jepit yang tergeletak di tengah jalan atau di depan asrama Brimob. Terlepas dari bagaimana cerita yang sebenarnya, bocah berinisial AAL itu dibawa ke kantor polisi, diproses ke kejaksaan, dan pada 4 Januari 2012 rencananya disidang di pengadilan negeri setempat.
Tapi persoalan yang mungkin dipandang sepele oleh anggota Brimob yang menangkap AAL (mungkin si Brimob itulah pemilik sandal sehingga dia jengkel kepada AAL) kemudian berkembang menjadi besar, bahkan jadi isu nasional. Publik marah dan spontan di mana-mana di antero Indonesia timbul posko-posko untuk mengumpulkan sandal-sandal jepit yang sekarang konon jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu. Sandal-sandal jepit itu akan diserahkan ke Kapolri untuk diserahkan ke anggota Brimob yang apes itu sebagai pengganti sandal jepitnya yang dicuri AAL.
Betapa tidak apes si anggota Brimob itu? Rumah petaknya di asrama kecilmungil (bahasa sastranya) atau sempit-sesak (bahasa polisi). Kalau dipakai buat menyimpan sandal sebanyak itu, di mana dia dan anak-istrinya mau tidur? Tapi kasus sejenis AAL ini di Indonesia sama sekali bukan barang baru. Kalau kita tanya kepada Mbah Google, dalam tempo beberapa detik si mbah bisa menyampaikan beberapa kasus sejenis sekaligus.
Yang saya peroleh sebelum saya menulis artikel ini adalah kasus Prita Mulyasari di bulan Desember 2009 (tak terasa sudah dua tahun, ya) yang dituntut oleh RS Omni di BSD gara-gara dia nulis-nulis di dunia maya tentang pengalamannya di RS tersebut, yang menurutnya malapraktik. RS Omni tidak terima, mereka menggugat Ibu Prita ganti rugi pencemaran nama baik sebesar Rp2 miliar (kalau saya tidak salah ingat loh). Ibu yang malang itu mesti maju ke pengadilan walau sudah minta maaf.
Tapi sesudah kasus ini diliput media dan seperti halnya dengan kasus AAL, publik juga marah kepada RS Omni. Spontan masyarakat mengadakan gerakan Koin untuk Prita. Bukan hanya keluarga-keluarga dan anak-anak sekolah se-Indonesia yang bergerak mengumpulkan koin, tetapi juga satu pasukan artis dan musisi mengadakan konser khusus di Jakarta yang dananya diberikan seluruhnya untuk Ibu Prita.
Menurut catatan Mbah Google, artis-artis itu adalah Slank,Gigi, Ari Lasso,Nidji, Cokelat,Sheila On 7, Titi DJ, Sherina, Audy, Drive,Seringai,Saykoji,Maylaffayza, Funky Kopral,Kunci,The Cash,Marvells,Drew,Ronaldisko, Endah N Rhesa, Black Star, Domino,Ikaputri,Gruvi,J-Flow, dan Patent. Tapi daftar kasus dari Mbah Google belum selesai. Masih ada Nenek Minah,55,di Banyumas yang tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan akan menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan.
Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.Di sini tidak ada upaya pengumpulan buah kakao bergerbong-gerbong karena mengumpulkan buah kakao tidak semudah mengumpulkan koin atau sandal jepit. Tapi hakim yang memutuskan perkara ini meneteskan air mata dan publik pun lagi-lagi dibuat geram. Masih soal curi-mencuri buah, di Meulaboh dua orang bersaudara dijatuhi hukuman setahun penjara gara-gara nyolong buah durian.
Lalu di Kediri, dua bersaudara yang mencuri buah semangka juga maju ke pengadilan, tetapi dibebaskan oleh hakim dan masih banyak kasus serupa. Masalahnya sekarang, apa bedanya kasus-kasus pencurian sandal jepit dan aneka buah itu dengan kasus-kasus Mesuji dan Bima? Dengan kasus Papua,“ cicak vs buaya”, atau kasus Bank Century? Dari sudut pandang psikologi (versi saya tentunya), tidak ada bedanya. Kalaupun ada hanya skalanya. Besar (Century) atau kecil (sandal jepit). Intinya sama saja, yaitu ada persepsi tentang ketidakadilan.
Ada kezaliman. Ada Firaunisme. Di satu sisi ada pihak yang tertindas, yang lemah, yang minoritas, yang tidak berdaya,di sisi lain ada penindas,yaitu penguasa, yang punya kekuatan, punya modal,punya pengaruh, dan sebagainya. Termasuk di sini: polisi.Di mata publik,polisi adalah si Firaun yang menzalimi orang seperti AAL atau pencuri kakaoatausebagianrakyatkecil diBima,Mesuji,atauPapua.Tapi si tertindas bukan hanya orang kecil,bisa juga orang besar yang kebetulan tertindas.
Dalam kasus “cicak-buaya”, misalnya, “cicaknya”adalah Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang KPK dan “buayanya”adalah polisi.Tapi polisi bisa juga jadi yang tertindas kalau polisi itu bernama Susno Duaji (walaupun berpangkat komjen pol) karenaSusnoDuajidianggapsebagai peniup peluit keadilan. Begitu juga nasabah-nasabah Bank Century (termasuk yang cukong-cukong kelas kakap) dianggap si tertindas, sementara sangFiraunnya adalahBoediono yang malah jadi wapres dan Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan,
yang malah ngetem di World Bank,Washington DC. Jadi memang bangsa Indonesia cepat sekali merasa iba kalau ada pihak yang tertindas dan langsung mau membantu dengan cara apa saja.Itu sebabnya setiap kali ada bencana alam atau ada anak yang lahir dengan usus di luar atau mata hampir copot dan orang tuanya hanya tukang becak atau buruh harian lepas,begitumasuk TV,langsung banyak yang menyumbang. Dalam hal inilah memang para petugas,khususnya penegak hukum, apalagi polisi, harus sangat peka terhadap masalah-masalah yang bisa memicu perasaan ketidakadilan.
Di sini tidak bisa kita hanya mengikuti hukum positif.Kalau hanya ikut hukum positif, pencuri sandal dan buah itu memang harus dihukum.Titik! Tapi polisi punya hak diskresi untuk tidak menjalankan hukum demi kepentingan yang lebih besar.Paradigma seperti inilah yang semestinya dianut oleh para petugas kepolisian dan penegak hukum lainnya di lapangan.
*** Tapi tunggu dulu! Apa iya bangsa ini peka terhadap rasa keadilan, antizalimisme dan anti-Firaunisme? Bagaimana dengan umat Gereja Yasmin di Bogor, Gereja HKBP di Bekasi Timur, umat Ahmadiyah di Cikeusik, umat Syiah di Sampang? Mereka warga NKRI juga, punya KTP juga, sama seperti kita-kita, tetapi mereka minoritas dan dizalimi. Dilarang beribadah, diserang, dibunuh, rumah dan tempat peribadatannya dibakar. Kok nggak ada yang membela?
Tidak ada yang mengumpulkan koin atau sandal jepit (kalau ratusan ribu bisa dijual untuk membeli sembako buat mereka). Bahkan pemerintah tidak segan melanggar keputusan Mahkamah Agung untuk menekan kelompok minoritas ini. Bukankah itu berarti pemerintah ikut-ikutan menjadi Firaun terhadap kaum minoritas ini? Au,ah, gelap!
0 Responses for “ A A L”
Leave a Reply
Recently Commented
Recent Entries
Photo Gallery
Powered by Blogger.
Popular Posts
-
Pemimpin baru Korut Kim Jong-un (tengah, barisan depan) berpose bersama para tentara di Divisi Tank Seoul Ryu Kyong Su 105. Meski peralat...
-
JAKARTA – Pemerintah akan melakukan pembinaan menyeluruh terhadap pelaku usaha ekonomi kreatif guna meningkatkan nilai tambah di sektor t...
-
WASHINGTON— Amerika Serikat (AS) mulai memfokuskan strategi pertahanannya di Asia pada tahun ini. Strategi yang diungkapkan Presiden Barack ...

