Sanksi yang Tak Ditakuti
Posted on and filed under Berita Utama . You can follow any responses to this entry through theRSS 2.0 . You can leave a response or trackback to this entry from your site
Tak seorang pun dapat membantah,meski kita sudah 13 tahun melakukan reformasi dengan agenda utama pemberantasan korupsi, pelaku korupsi bukannya berkurang. Bahkan banyak yang percaya,korupsi semakin merajalela.
Agenda pemberantasan korupsi yang sejak awal reformasi diusulkan oleh akademisi dan pegiat antikorupsi sudah dilakukan,tetapi semuanya seakan tak mampu membendung wabah korupsi. Kita, misalnya, telah mereformasi Undang-undang (UU) No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman agar kekuasaan kehakiman baik secara institusional maupun personal bisa lebih merdeka.
Kekuasaan kehakiman diletakkan dalam satu atap mandiri,yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, agar kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu betulbetul terwujud, bebas dari intervensi pemerintah seperti yang dulu dilakukan rezim Orde Baru. Tapi sampai beberapa tahun terakhir ini kita melihat dengan mata terbelalak banyaknya keterlibatan para hakim dalam korupsi dan kolusi seperti banyaknya yang tertangkap tangan, diadili, dipecat, atau direkomendasikan Komisi Yudisial agar ditindak.
Ternyata kemerdekaan yang diberikan kepada hakim itu bukan hanya digunakan sebagai kemerdekaan dalam membuat vonis yang adil dan objektif, melainkan sekaligus bisa digunakan sebagai kemerdekaan untuk mengolusikan atau menjualbelikan vonis. Hal yang sama terjadi pada aparat penegak hukum lainnya. Beberapa jaksa digelandang ke penjara karena menjualbelikan perkara,beberapa polisi diseret ke pengadilan karena memperdagangkan kasus, dan ada pula pengacara yang digiring ke pengadilan karena menjadi makelar kasus.
Sebenarnya melalui amendemen konstitusi kita pun telah membentuk lembaga pengawas hakim yang diidealkan kuat dan berwibawa untuk merekomendasikan tindakan tegas terhadap hakim-hakim yang nakal.Tapi, bak disambar halilintar, kita pun dikejutkan oleh tertangkapnya seorang komisioner Komisi Yudisial yang justru melakukan tindak pidana korupsi. Istilahnya, terjadi apa yang disebut “pagar makan tanaman”.
Kita juga telah membentuk KomisiPemberantasanKorupsi (KPK) yang diberi kewenangankewenangan khusus dalam hukum acara pidana agar bisa dilakukan tindakan keras dan tepat terhadap pelaku korupsi. Lembaga ini memang ditakuti, relatif bersih dari isu negatif kecuali yang ditengarai karena rekayasa. Tapi produktivitas KPK rendah, hanya ratusan yang bisa ditangani KPK dari belasan ribu kasus yang diterimanya sebagai laporan. Belajar dari efektivitas KPK (Jakarta) dalam menghantam korupsi, kita pun membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Daerah (Tipikorda).
Tapi lembaga ini pun mendapat sorotan tajam karena ternyata dapat dinilai lebih bersahabat terhadap koruptor bila dibandingkan dengan pengadilan biasa. Dalam banyak kasus, pengadilan umum justru lebih galak menghukum koruptor di berbagai daerah bila dibandingkan dengan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikorda. Bila Pengadilan Tipikorda sangat rajin membebaskan terdakwa korupsi di daerahdaerah, pengadilan umum sebelum adanya Pengadilan Tipikorda justru banyak yang menghukum para koruptor di daerah dengan hukuman berat.
Sebutlah vonis-vonis yang dijatuhkan terhadap para mantan bupati seperti Blitar, Banyuwangi, Jember, Sleman, Pamekasan.Makanya saya pernah mengusulkan agar Pengadilan Tipikorda dibubarkan dan fungsi peradilan korupsi di daerah-daerah dikembalikan saja ke pengadilan biasa. Kembali ke pokok soal, mengapa korupsi terus merajalela padahal kita sudah melakukan penataan atas substansi maupun lembaga-lembaga hukum? Salah satu jawabannya adalah karena hukuman atas pelaku korupsi tidak lagi ditakuti.
Banyak tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman jauh lebih ringan daripada tindak pidana biasa,banyak pula yang dibebaskan dengan alasan “formalitas” hukum.Yang dihukum pun, seperti sering diberitakan oleh media massa, ditengarai bisa keluar masuk atau membawa fasilitas agak mewah dengan mudah ke kompleks penjara, bahkan dengan cepat bisa mengurus remisi atau pembebasan bersyarat.
Bayangkan, seorang pejabat yang gaji resminya jika ditabung selama bertahuntahun tidak banyak ternyata hanya dihukum 4 tahun karena korupsi belasan atau puluhan miliar. Atau seorang pegawai negeri sipil yang tak punya usaha bisnis yang sungguhsungguh padahal gaji resminya hanya beberapa juta rupiah ternyata hanya dihukum 3 tahun setelah terbukti melakukan korupsi miliaran rupiah.
Tentu saja hukuman-hukuman enteng seperti itu tidak menakutkan sehingga sangat mungkin orang memilih masuk penjara sebentar dengan korupsi miliaran rupiah daripada hanya menunggu gaji resmi yang dirasakan tidak cukup untuk memenuhi ketamakannya. Toh,sesudah keluar dari penjara yang hanya sebentar, mereka bisa berfoya-foya dengan hasil korupsinya yang bisa dinikmati oleh keturunannya sekaligus.
Oleh karena hukuman penjara seperti sekarang tidak lagi ditakuti, bahkan sudah menjadi semacam mode, maka tak ada pilihan lain,kita harus tega menjatuhkan hukuman sangat berat, mempermalukan, dan memiskinkan para koruptor melalui hukum. Kalau kita punya hati nurani dan merasa tidak tega terhadap jutaan rakyat yang dimiskinkan dan disengsarakan oleh para koruptor, kita harus tega untuk bersikap keras dan menghukum berat, mempermalukan, dan memiskinkan para koruptor.
Kekuasaan kehakiman diletakkan dalam satu atap mandiri,yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, agar kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu betulbetul terwujud, bebas dari intervensi pemerintah seperti yang dulu dilakukan rezim Orde Baru. Tapi sampai beberapa tahun terakhir ini kita melihat dengan mata terbelalak banyaknya keterlibatan para hakim dalam korupsi dan kolusi seperti banyaknya yang tertangkap tangan, diadili, dipecat, atau direkomendasikan Komisi Yudisial agar ditindak.
Ternyata kemerdekaan yang diberikan kepada hakim itu bukan hanya digunakan sebagai kemerdekaan dalam membuat vonis yang adil dan objektif, melainkan sekaligus bisa digunakan sebagai kemerdekaan untuk mengolusikan atau menjualbelikan vonis. Hal yang sama terjadi pada aparat penegak hukum lainnya. Beberapa jaksa digelandang ke penjara karena menjualbelikan perkara,beberapa polisi diseret ke pengadilan karena memperdagangkan kasus, dan ada pula pengacara yang digiring ke pengadilan karena menjadi makelar kasus.
Sebenarnya melalui amendemen konstitusi kita pun telah membentuk lembaga pengawas hakim yang diidealkan kuat dan berwibawa untuk merekomendasikan tindakan tegas terhadap hakim-hakim yang nakal.Tapi, bak disambar halilintar, kita pun dikejutkan oleh tertangkapnya seorang komisioner Komisi Yudisial yang justru melakukan tindak pidana korupsi. Istilahnya, terjadi apa yang disebut “pagar makan tanaman”.
Kita juga telah membentuk KomisiPemberantasanKorupsi (KPK) yang diberi kewenangankewenangan khusus dalam hukum acara pidana agar bisa dilakukan tindakan keras dan tepat terhadap pelaku korupsi. Lembaga ini memang ditakuti, relatif bersih dari isu negatif kecuali yang ditengarai karena rekayasa. Tapi produktivitas KPK rendah, hanya ratusan yang bisa ditangani KPK dari belasan ribu kasus yang diterimanya sebagai laporan. Belajar dari efektivitas KPK (Jakarta) dalam menghantam korupsi, kita pun membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Daerah (Tipikorda).
Tapi lembaga ini pun mendapat sorotan tajam karena ternyata dapat dinilai lebih bersahabat terhadap koruptor bila dibandingkan dengan pengadilan biasa. Dalam banyak kasus, pengadilan umum justru lebih galak menghukum koruptor di berbagai daerah bila dibandingkan dengan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikorda. Bila Pengadilan Tipikorda sangat rajin membebaskan terdakwa korupsi di daerahdaerah, pengadilan umum sebelum adanya Pengadilan Tipikorda justru banyak yang menghukum para koruptor di daerah dengan hukuman berat.
Sebutlah vonis-vonis yang dijatuhkan terhadap para mantan bupati seperti Blitar, Banyuwangi, Jember, Sleman, Pamekasan.Makanya saya pernah mengusulkan agar Pengadilan Tipikorda dibubarkan dan fungsi peradilan korupsi di daerah-daerah dikembalikan saja ke pengadilan biasa. Kembali ke pokok soal, mengapa korupsi terus merajalela padahal kita sudah melakukan penataan atas substansi maupun lembaga-lembaga hukum? Salah satu jawabannya adalah karena hukuman atas pelaku korupsi tidak lagi ditakuti.
Banyak tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman jauh lebih ringan daripada tindak pidana biasa,banyak pula yang dibebaskan dengan alasan “formalitas” hukum.Yang dihukum pun, seperti sering diberitakan oleh media massa, ditengarai bisa keluar masuk atau membawa fasilitas agak mewah dengan mudah ke kompleks penjara, bahkan dengan cepat bisa mengurus remisi atau pembebasan bersyarat.
Bayangkan, seorang pejabat yang gaji resminya jika ditabung selama bertahuntahun tidak banyak ternyata hanya dihukum 4 tahun karena korupsi belasan atau puluhan miliar. Atau seorang pegawai negeri sipil yang tak punya usaha bisnis yang sungguhsungguh padahal gaji resminya hanya beberapa juta rupiah ternyata hanya dihukum 3 tahun setelah terbukti melakukan korupsi miliaran rupiah.
Tentu saja hukuman-hukuman enteng seperti itu tidak menakutkan sehingga sangat mungkin orang memilih masuk penjara sebentar dengan korupsi miliaran rupiah daripada hanya menunggu gaji resmi yang dirasakan tidak cukup untuk memenuhi ketamakannya. Toh,sesudah keluar dari penjara yang hanya sebentar, mereka bisa berfoya-foya dengan hasil korupsinya yang bisa dinikmati oleh keturunannya sekaligus.
Oleh karena hukuman penjara seperti sekarang tidak lagi ditakuti, bahkan sudah menjadi semacam mode, maka tak ada pilihan lain,kita harus tega menjatuhkan hukuman sangat berat, mempermalukan, dan memiskinkan para koruptor melalui hukum. Kalau kita punya hati nurani dan merasa tidak tega terhadap jutaan rakyat yang dimiskinkan dan disengsarakan oleh para koruptor, kita harus tega untuk bersikap keras dan menghukum berat, mempermalukan, dan memiskinkan para koruptor.
0 Responses for “ Sanksi yang Tak Ditakuti”
Leave a Reply

Recently Commented
Recent Entries
Photo Gallery

Powered by Blogger.
Popular Posts
-
Pemimpin baru Korut Kim Jong-un (tengah, barisan depan) berpose bersama para tentara di Divisi Tank Seoul Ryu Kyong Su 105. Meski peralat...
-
JAKARTA – Pemerintah akan melakukan pembinaan menyeluruh terhadap pelaku usaha ekonomi kreatif guna meningkatkan nilai tambah di sektor t...
-
WASHINGTON— Amerika Serikat (AS) mulai memfokuskan strategi pertahanannya di Asia pada tahun ini. Strategi yang diungkapkan Presiden Barack ...